Halaman

Kamis, 15 Desember 2022

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

 

Assalamulaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Salam dan Bahagia.

 Selamat berjumpa Kembali, Bapak Ibu Guru Hebat. Pada kesempatan ini, saya Sumiyati CGP Angkatan 6 dari DIY akan menyampaikan Koneksi Antar Materi Modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Sebelumnya, Saya ucapkan terima kasih kepada Ibu Pengajar Praktik, Ibu Siti Sumiyati, beserta Bapak Fasilitator Bapak Edy Susiadi Purnama yang telah mendampingi serta membimbing selama Program Guru Penggerak ini.

 

Refleksi Modul 3.2 Coaching untuk Supervisi Akademik

Coaching merupakan sebuah proses kolaborqasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, di mana coach nmemfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee.

Paradigma Berpikir Coaching

1.       1. Fokus pada coachee yang akan dikembangkan

2.       2. Bersikap terbuka dan ingin tahu

3.       3. Memiliki kesadarqan diri yang kuat

4.       4. Mampu melihat peluang baru dan masa depan

Prinsip Coaching

1.       Kemitraan

Dalam coaching, posisi coach terhadap coacheenya adalah mitra. Hal itu berarti setara, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.

2.       Proses Kreatif

Proses kreatif ini dilakukan melalui percakapan dua arah, memicu prose3s berpikir coachee, memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru.

3.       Memaksimalkan Potensi

Untuk memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan.


Coaching dalam Konteks Pendidikan

Filosofi KHD

Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai “pamong” dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.

Sistem Among

Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid.

Kompetensi Inti Coaching

1.       Kehadiran Penuh

Kemampuan untuk bisa hadir utuh bagi coachee, sehingga badan, pikiran, hati selaras saat sedang melakukan percakapan coaching.

2.       Mendengarkan Aktif

Seorang coach yang baik akan mendengarkan lebih banyak dan lebih sedikit berbicara. Fokus dan pusat komunikasi adalah pada diri coachee, yakni mitra bicara.

3.       Mengajukan Pertanyaan Berbobot

Pertanyaan yang diajukan dapat menggugah orang untuk berpikir, menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal baru, mengungkapkan emosi.

Percakapan Berbasis Coaching dengan Alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggungjawab)

1.       Tujuan

Coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini.

2.       Identifikasi

Proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee.

3.       Rencana Aksi

Coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.

4.       Tanggungjawab

Komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya


Supervisi Akademik dengan Paradigma Berpikir Coaching

Supervisi akademik perlu dimaknai secara positif sebagai kegiatan berkelanjutan yang meningkatkan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran yakni pembelajaran yang berpihak pada murid. Beberapa prinsip supervise akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi: kemitraan, konstruktif, terencana, reflektif, objektif, berkesinambungan, dan komprehensif. Siklus dalam supervise klinis pada umumnya meliputi tiga tahap, yakni: Pra Observasi, Observasi dan Pasca Observasi.

 

Koneksi Antar Materi

Keterkaitan dengan Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

Dalam pembelajran berdiferensiasi diadakan pemetaan dengan 3 cara: minat murid, kebutuhan belajar murid, dan profil belajar murid. Pemetaan ini digunakan seorang coach sebagai data dalam proses coaching, sehingga coachee dalam hal ini murid mampu mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya untuk menemukan solusi terbaik.

Keterkaitan dengan Modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional

Hal-hal yang harus dipahami dalam Kompetensi Sosial dan Emosional yaitu: Kesadaran Diri, Kesadaran Sosial, Pengelolaan Diri, Keterampilan Berelasi, dan Pengambilan Keputusan yang Bertanggungjawab. KSE digunakan oleh seorang guru dalam melakukan coaching terhadap coachee, agar terjadi pengendalian diri dan emosi untuk coach dan coachee serta menimbulkan rasa empati dan rasa sosialisasi serta dapat mengambil keputusan yang tepat dan bertanggungjawab.

Peran sebagai seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya

Di dalam kompetensi coaching dengan alur TIRTA, mewajibkan kita sebagai coach untuk dapat melakukan kehadiran penuh, salah satunya dengan kegiatan STOP dan mindfull listening yang telah dipelajari pada modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional. Salah satu prinsip coaching adalah memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat. Percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang diberdayakan atau coachee. Karena potensi coachee beragam, maka kompetensi sosial emosional diperlukan untuk memaksimalkan potensinya.

Demikianlah koneksi antar materi modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik.

Sampai bertemu pada materi selanjutnya.

Salam Guru Penggerak.

Guru Bergerak, Indonesia Maju.

Wassalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh.

Senin, 28 November 2022

Koneksi Antar Materi Modul 2.2 Pembelajaran Sosial Emosional


 Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Semangat Pagi.

Salam dan Bahagia.

Salam Guru Penggerak.

Pada kesempatan kali ini, Saya akan menyampaikan Koneksi Antar Materi Modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional. Sebelumnya, Saya ucapkan terima kasih Fasilitator Bapak Edy Susiadi Purnama dan Pengajar Praktik Ibu Siti Sumiyati yang telah membimbing Saya dengan sabar selama mengikuti Program Guru Penggerak ini.


Refleksi Diri

Bapak dan Ibu, Guru Hebat seluruh Indonesia, sebagai pendidik tentunya kita pernah mengalami perasaan emosi dalam diri kita seperti marah, kecewa, khawatir, sedih, atau bahkan stres karena tumpukan tugas yang begitu banyak. Nah, Bapak Ibu Guru Hebat, bagaimana cara kita mengontrol diri? Maka dalam modul 2.2 ini kita akan mempelajari Pembelajaran Sosial Emosional dan keterkaitannya dengan materi sebelumnya.


Apa kesimpulan tentang perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap sebagai pemimpin pembelajaran setelah mempelajari pembelajaran sosial dan emosional?


    Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap oositif mengenai aspek sosial dan emosional. Tujuan pembelajaran sosial dan emosional (PSE) adalah untuk memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi (kesadaran diri), menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri), merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial), dan membuat keputusan yang bertanggung jawab.

    Pencapaian Pembelajaran Sosial-Emosional (PSE) ditandai dengan adanya: 1) Peningkatan 5 kompetensi sosial-emosional, 2) Lingkungan belajar yang suportif, 3) Peningkatan sikap pada diri sendiri, respek dan toleran terhadap orang lain dan lingkungan sekolah. Meningkatnya tiga hal tersebut dapat mnegurangi perilaku negatif dan tingkat stres, serta dapat meningkatkan perilaku positif dan performa akademik siswa.

    Sebelum membahas lebih lanjut tentang lima KSE, kita akan terlebih dahulu membahas tentang well being. Well Being adalah sebuah kondisi di mana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik. Memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.


 Lima Kompetensi Sosial-Emosional

     Lima Kompetensi Sosial-Emosional (KSE) meliputi: 1) Kesadaran Diri; 2) Manajemen Diri; 3) Kesadaran Sosial; 4) Keterampilan Berelasi; dan 5) Pengambilan Keputusan yang Bertanggungjawab.

1. Kesadaran Diri

    Kesadaran diri merupakan kemampuan untuk memahami perasaan, emosi, dan nilai-nilai diri sendiri, dan bagaimana pengaruhnya pada perilaku diri dalam berbagai situasi dan konteks kehidupan. Seseorang yang memiliki kompetensi ini, antara lain dapat: menggabungkan identitas pribadi dan identitas sosial, mengidentifikasi kekuatas/aset diri dan budaya, mengidentifikasi emosi-emosi dalam diri, menunjukkan integritas dan kejujuran, menghubungkan perasaan, pikiran, dan nilai-nilai, menguji dan mempertimbangkan prasangka dan bias, memupuk efikasi diri, memiliki pola pikir bertumbuh, serta mengembangkan minat dan menetapkan arah tujuan hidup.

2. Manajemen Diri

    Manajemen diri merupakan kemampuan untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku diri secara efektif dalam berbagai situasi dan untuk mencapai tujuan dan aspirasi. Seseorang yang memiliki kompetensi ini, antara lain dapat: mengelola emosi diri, mengidentifikasi dan menggunakan strategi-strategi pengelolaan stres, menunjukkan disiplin dan motivai diri, merancang tujuan pribadi dan bersama, menggunakan keterampilan merancang dan mengorganisir, memperlihatkan keberanian untuk mengambil inisiatif, serta mendemonstrasikan kendali diri dan dalam kelompok.

3. Kesadaran Sosial

    Kesadaran sosial merupakan kemampuan untuk memahami sudut pandang dan dapat berempati dengan orang lain termasuk mereka yang berasal dari latar belakang, budaya, dan konteks yang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki kompetensi ini, antara lain dapat: mempertimbangkan pandangan/pemikiran orang lain, mengakui kemampuan/kekuatan orang lain, mendemonstrasikan empati dan rasa welas kasih, menunjukkan kepedulian atas perasaan orang lain, memahami dan mengekspresikan rasa sukur, serta mengidentifikasi ragam norma sosial, termasuk norma-norma yang menunjukkan ketidakadilan.

4. Keterampilan Berelasi

        Keterampilan Berelasi merupakan kemampuan untuk membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan yang sehat dan suportif. Seseorang yang memiliki kompetensi ini, antarqa lain dapat: berkomunikasi dengan efektif, mengembangkan relasi/hubungan positif, mempraktikkan kerjasama tim dan pemecahan masalah secara kolaboratif, melawan tekanan sosial yang negatif, menunjukkan sikap kepemimpinan dalam kelompok, mencari dan menawarkan bantuan apabila membutuhkan, serta turut membela hak-hak orang lain.

5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggungjawab

     Pengambilan keputusan yang bertanggungjawab merupakan kemampuan untuk mengambil pilihan-pilihan membangun berdasar atas kepedulian, kapasitas dalam mempertimbangkan standar-standar etis dan rasa aman, dan untuk mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari bermacam-macam tindakan dan perilaku untuk kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, masyarakat, dan kelompok. Seseorang yang memiliki kompetensi ini, antara lain dapat: menunjukkan rasa ingin tahu dan keterbukaan pikiran, mengidentifikasi/mengenal solusi dari masalah pribadi dan sosial, berlatih membuat keputusan masuk akal setelah menganalisis informasi, data, dan fakta, mengantisipasi dan mengevaluasi konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya, menyadari bahwa keterampilan berpikir kritis sangat berguna baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, merefleksikan peran seseorang dalam memperkenalkan kesejahteraan psikologis (well-being) diri sendiri, keluarga, dan komunitas, serta mengevaluasi pengaruh dari seseorang, hubungan interpersonal, komunitas, dan kelembagaan.


 Kesadaran Penuh (Mindfulness) Sebagai Dasar Penguatan Lima KSE

        Kesadaran penuh dapat diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja/sadar pada kondisi sekarang, yang dilandasi rasa ingin tahu (tanpa menghakimi) dan kebaikan atau welas asih (Hawkins, 2017:15). Praktik kesadaran penuh (mindfulness) bukanlah solusi sebuah permasalahan, akan tetapi merupakan praktik yang membantu kita dalam menyikapi, memproses, dan merespon permasalahan yang kita hadapi untuk fokus pada situasi yang dihadapi sekarang, bukan pada kekhawatiran pada masa yang akan datang maupun penyesalan pada masa lalu.

        Salah satu cara untuk melatih kesadaran penuh (mindfulness) adalah teknik STOP. Stop (Berhenti sejenak), Take a Breath (Ambil Napas), Observe (Observasi/Amati), dan Proceed (Lanjutkan). Dengan teknik ini, syaraf parasimpatik menenangkan tubuh dengan memperlambat detak jantung, menurunkan tekanan darah, mempertajam kekuatan otak bagian atas (korteks prefontal) yang berhubungan dengan fokus, konsentrasi dan kesadaran, sehingga akan tercipta nuansa well-being.

Implementasi Kompetensi Sosial-Emosional (KSE)

    Implementasi KSE di sekolah, dapat dilaksanakan melalui: 1) Pengajaran Eksplisit; 2) Integrasi dalam praktik mengajar guru dan kurikulum akademik; 3) Penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah; 4) Penguatan KSE pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah.

Fakta Penting Pembelajaran Sosial-Emosional

    Dalam pelaksanaan pembelajaran sosial-emosional, kita akan menemukan fakta-fakta bahwa: 1) murid yang berkembang secara sosial dan emosional, pada saat yang sama mereka pun berkembang secarqaq akademik; 2) mengabaikan perkembangan sosial dan emosional dapat membawa efek buruk secara akademik; 3) pembelajaran sosial-emosional harus diimplementasikan secara sengaja.


Apa kaitan pembelajaran sosial-emosional yang telah dipelajari dengan modul-modul sebelumnya?

    

Kaitan Pembelajaran Sosial-Emosional dengan Filosofi Ki Hajar Dewantara

    Melalui Pembelajaran Sosial-Emosional (PSE), guru dapat menciptakan well-being dalam ekosistem pendidikan di sekolah, sehingga tercipta kondisi nyaman, sehat, dan bahagia bagi murid. Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yakni menuntun anak sesuai dengan kodr5at alam dan zamannya agar mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya sehingga anak menemukan kemerdekaan dalam proses belajarnya.

Kaitan Pembelajaran Sosial-Emosional dengan Nilai dan Peran Guru Penggerak

    Nilai-nilai yang harus dimiliki guru penggerak yaitu berpihak pada murid, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan mandiri agar dapat mewujudkan Pembelajaran Sosial-Emosional (PSE) melalui salah satu perannya, yaitu mewujudkan kepemimpinan murid. Melalui nilai dan perannya tersebut, guru dapat menciptakan well-being dalam ekosistem pendidikan di sekolah, sehingga tercipta kondisi nyaman, sehat, dan bahagia bagi murid.

Kaitan Pembelajaran Sosial-Emosional dengan Visi Guru Penggerak

    Melalui Pembelajran Sosial-Emosional (PSE) yang mengintegrasikan lima KSE, guru dapat mewujudkan visi yang diharapkan yaitu dapat mewujudkan insan pembelajar yang bertakwa, berprestasi, inovatif, berbudaya, dan berkarakter, sehingga terwujud Profil Pelajar Pancasila.

Kaitan Pembelajaran Sosial-Emosional dengan Budaya Positif

    Melalui PSE yang mengintegrasikan lima Kompetensi Sosial Emosional (KSE), guru dapat mengenali dan memahami emosi masing-masing yang sedang dirasakan, sehingga mampu mengontrol diri dan dapat menerapkan disiplion positif secara baik sesuai dengan kesadaran diri (self-awarness).

Kaitan Pembelajaran Sosial-Emosional dengan Pembelajaran Berdiferensiasi

    Melalui PSE, guru dapat melakukan pembelajaran dengan menggunakan beberapa teknik, antara lain: identifikasi perasaan, identifikasi emosi, menuliskan ucapan terima kasih, bermain peran, dan lain-lain. Hal tersebut dilakukan agar guru mampu menerapkan pembelajarana berdiferensiasi di kelas sesuai dengan kebutuhan belajar murid, guan mewujudkan merdeka belajar.


Guru Hebat Indonesia, demikianlah tadi Koneksi Antar Materi Modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial-Emosional. Sampai bertemu lagi di Koneksi Antar Materi Modul 2.3.

Wassalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

Guru Hebat Indonesia Tergerak, Bergerak, Menggerakkan.

Guru Bergerak, Indonesia Maju.



Selasa, 15 November 2022

Koneksi Antar Materi Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

Assalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh.

Semangat Pagi.

Salam dan Bahagia. 

Salam Guru Penggerak.


Selamat bertemu kembali dalam Koneksi Antar Materi Modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi. Sebelumnya, Saya ucapkan terima kasih kepada Fasilitator, Bapak Edy Susiadi Purnama serta Pengajar Praktik, Ibu Siti Sumiyati yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan, serta motivasi kepada Saya dalam mengikuti Program Guru Penggerak Angkatan 6 ini. Nah, selanjutnya Saya akan mencoba membuat Koneksi Antar Materi modul 2.1 yang sudah dipelajari.


Apa yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi dan bagaimana hal ini dapat dilakukan di kelas?

Menurut Tomlinson (2001:45), Pembelajran Berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Pembelajaran Berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi pada kebutuhan murid.

Langkah-langkah penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi di kelas adalah:

1.     Menentukan tujuan pembelajaran

2.     Menganalisis kebutuhan belajar dengan melakukan asesmen diagnostik (kognitif dan non kognitif) berdasarkan 3 aspek (kesiapan, minat, dan profil belajar murid)

3.     Menganalisis penerapan s strategi diferensiasi (konten, proses, dan produk)

4.     Mengimplementasikan Rencana Pembelajaran Berdiferensiasi dalam konteks pembelajaran di kelas

5.     Melakukan asesmen pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan kebutuhan murid

 

Bagaimana Pembelajaran Berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal?

Agar pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid, guru dapat melakukan pemetaan kebutuhan murid berdasarkan 3 aspek, yaitu:

1.     Kesiapan Belajar

Guru perlu melihat kesiapan belajar murid untuk mengetahui kapasitas murid dalam mempelajari materi, konsep, atau keterampilan baru.

2.     Minat Belajar

Guru memberikan pilihan kepada muridnya untuk belajar sesuai dengan minatnya. Belajar sesuai minat dapat meningkatkan motivasi murid untuk belajar.

3.     Profil Belajar

Guru memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar secarqa alami dan efisien bergantung dari gaya belajarnya, kecerdasan, pengaruh budaya, dan lingkungannya.

Agar pembelajaran berdiferensiasi dapat membantu murid mencapai hasil belajar yang optimal, guru dapat menerapkan 3 strategi secara tepat, yaitu:

1.     Diferensiasi Konten

Guru perlu menyesuaikan materi/konten pembelajaran dengan kebutuhan belajar murid yang beragam, berdasarkan pemetaan kebutuhan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid.

2.     Diferensiasi Proses

Guru perlu memvariasikan proses belajar agar beragam, sesuai dengan kebutuhan belajar murid. Proses ini mengacu pada bagaimana murid memahami atau memaknai apa yang dipelajari.

3.     Diferensiasi Produk

            Guru perlu memodifikasi tagihan produk yang akan dihasilkan murid sesuai dengan konten yang telah mereka pelajari dan proses yang telah mereka lewati.

 

Bagaimana Koneksi Antar Materi Pembelajaran Berdiferensiasi dengan modul lain di Pendidikan Guru Penggerak yang pernah dipelajari?


    Menurut bagan koneksi antar materi tersebut, dapat dilihat bahwa pembelajaran berdiferensiasi sangat erat kaitannya dengan pembelajaran yang berpihak pada murid, sesuai dengan filosofi KHD. Sedangkan nilai-nilai guru penggerak yaitu mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid merupakan komponen-komponen utama dalam mewujudkan Pembelajaran Berdiferensiasi. Murid sebagai manusia pembelajar yang beragam harus terlayani dengan baik melalui visi guru penggerak. Pembelajaran berdiferensiasi yang dilaksanakan oleh guru mampu membangun budaya positif di sekolah.

  1. 1.   Keterkaitan antara modul 1.1 Filosofi KHD dengan 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

          Menurut KHD, pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia maupun anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. tugas guru adalah menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan setiap anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai dengan kodratnya masing-masing, dan memastikan bahwa dalam prosesnya, anak-anak tersebut merasa selamat dan bahagia.

        Kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi, sebagai guru kita harus dapat memenuhi kebutuhan belajar murid melalui pembelajaran berdiferensiasi yang dapat mengakomodir keberagaman siswa melalui pemetaan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid, sehingga dapat mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid.

2.              Keterkaitan antara modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak dengan 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

        Nilai guru penggerak yaitu mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Maka, dalam proses menuntun murid guru harus selalu berpikir, "Apa yang murid butuhkan? Apa yang dapat Saya lakukan agar proses belajar menjadi lebih baik?" Sedangkan salah satu peran guru penggerak adalah mewujudkan kepemimpinan murid. Dalam hal ini, guru membantu murid dalam belajar, mampu memunculkan motivasi murid untuk belajar, juga mendidik karakter baik murid di sekolah.

        Kaitannya dengan pembelajaran berdiferensiasi, guru dapat memenuhi kebutuhan belajar murid melalui pembelajaran berdiferensiasi yang dapat mengakomodir keberagaman murid melalui pemetaan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar murid sehingga dapat mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid.

3.       Keterkaitan antara modul 1.3 Visi Guru Penggerak dengan 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

        Untuk melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi yang mengakomodir kebutuhan belajar murid, guru dapat melakukan prakarsa perubahan melalui Inkuiri Apresiatif dengan tahapan BAGJAnya, yaitu:

ü  Buat pertanyaan terkait pemetaan keburuhan belajar murid

ü  Ambil pelajaran apa yang sudah pernah dilakukan

ü  Gali mimpi tentang kondisi ideal yang akan terjadi dalam proses pembelajaran

ü  Jabarkan 3 strategi diferensiasi

ü  Atur eksekusi dengan melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar murid.

4.       Keterkaitan antara modul 1.4 Budaya Positif dengan 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi

            Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi di sekolah akan membentuk Budaya Positif dengan posisi kontrol guru sebagai manajer. Guru membantu membuat murid merasa dihargai dan memiliki keterkaitan antara dirinya dengan guru dan teman di kelasnya sehingga murid merasa dirinya bagian dari kelasnya.


    Nah, teman-teman guru hebat Indonesia, demikianlah Koneksi Antar Materi modul 2.1 Pembelajaran Berdiferensiasi yang dapat Saya sampaikan. Semoga materi ini memberikan manfaat untuk kita semua, guru-guru hebat yang siap melaksanakan pembelajaran yang berpihak pada murid.

 Guru hebat Indonesia Tergerak, Bergerak, Menggerakkan.

Guru Bergerak, Indonesia Maju.


Kamis, 27 Oktober 2022

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Budaya Positif

 Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh.

    Salam dan Bahagia.

    Perkenalkan, Saya Sumiyati CGP Angkatan 6 DIY dari SD Negeri Srepeng Semanu Gunungkidul.

    Pada kesempatan kali ini, Saya akan menyampaikan Koneksi Antar Materi Modul 1.4 tentang Budaya Positif.

    Sebelumnya, Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Fasilitator dan Pengajar Praktik, Bapak Edy Susiadi Purnama dan Ibu Siti Sumiyati yang selalu setia mendampingi Saya dalam melaksanakan kegiatan Program Guru Penggerak ini. Terima kasih juga Saya ucapkan kepada keluarga, anak dan suami, rekan sejawat di sekolah yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi dalam Saya melaksanakan kegiatan ini. 

    Koneksi Antar Materi modul 1.4 ini akan Saya sampaikan keterkaitan antar materi mulai dari modul 1.1 tentang Filosofis Pemikiran Ki Hajar Dewantara, modul 1.2 tentang Nilai dan Peran Guru Penggerak, modul 1.3 tentang Visi Guru Penggerak, dan modul 1.4 tentang Budaya Positif. Tujuan akhir dari modul 1 ini adalah terwujudnya murid yang memiliki profil pelajar pancasila.

    Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah menuntun. Menuntun segala kekuata kodrat yang ada pada anak (alam dan zaman) agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Ki Hajar Dewantara juga menyampaikan bahwa pendidikan harus menghamba pada murid. Pendidikan haruslah berpihak pada murid, sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan anak. Seorang pendidik atau guru, menurut Ki Hajar diibaratkan sebagai seorang petani, sedangkan sekolah ibarat lahan atau taman. Di lahan atau taman tersebut kita semai benih-benih yang berbeda karakteristiknya, dalam hal ini adalah murid. Sebagai seorang petani hanya bisa menuntun tumbuhnya benih dengan merawatnya. Begitulah kita menuntun murid, diibaratkan seperti seorang petani.

   Berdasarkan pernyataan Ki Hajar Dewantara tersebut, maka seorang guru harus mempunyai nilai dan menjalankan perannya agar mampu menuntun tumbuh kembangnya murid melalui pengajaran yang berpusat pada murid. Nilai-nilai yang harus dimiliki seorang guru penggerak adalah mandiri, reflektif, inovatif, kolaboratif, dan berpihak pada murid. Sedangkan peran yang harus dijalankan seorang guru penggerak adalah menjadi pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid, serta menggerakkan komunitas.

    Dalam mewujudkan suatu perubahan, kita memerlukan visi dan langkah-langkah yang tepat untuk mencapainya. Visi dapat terwujud jika terdapat kerjasama dengan semua warga sekolah. Oleh karena itu, dalam mewujudkan visi diperlukan langkah konkrit menggunakan metode Inquiry Apresiatif dengan tahapan BAGJA. Tahapan BAGJA yaitu Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, dan Atur Eksekusi.

    Berdasarkan penerapan tahapan BAGJA tersebut, akan muncul pembiasaan-pembiasaan positif di sekolah yang kita kenal dengan BUDAYA POSITIF. Budaya Positif ini akan menimbulkan rasa aman dan nyaman pada murid dalam proses pembelajaran. Budaya positif juga dapat mendorong murid untuk mampu berpikir, bertindak, dan mencipta sebagai proses memerdekakan dirinya sehingga murid lebih mandiri dan bertanggungjawab.

    Paparan di atas adalah keterkaitan antara materi modul 1.1, 1.2, 1.3, dan 1.4. Selanjutnya akan Saya sampaikan reflkesi pemahaman atas keseluruhan materi modul 1.4 tentang Budaya Positif.


Pertanyaan Refleksi

Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep inti yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu:disiplin positif, teori kontrol, teori motivasi, hukuman dan penghargaan, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi.

1. Disiplin Positif

    Disiplin positif merupakan pendekatan mendidik anak untuk melakukan kontrol diri dan pembentukan kepercayaan diri.

2. Nilai Kebajikan dan Keyakinan Kelas

   Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang.

3. Posisi Kontrol

    Ada lima posisi kontrol, yaitu pemberi hukuman, pembuat rasa merasa bersalah, teman, pemantau, dan manajer. Posisi kontrol yang paling baik diterpakan untuk mewujudkan budaya positif adalah posisi kontrol manajer.

4. Kebutuhan Dasar

    Ada lima kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kebutuhan akan kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebutuhan akan penguasaan (power), kebutuhan akan kebebasan (freedom), dan kebutuhan akan kesenangan (fun). 

5. Segitiga Restitusi

    Segitiga restitusi merupakan cara untuk menerapkan budaya positif melalui 3 tahap, yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.


Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini?

    Setelah mempelajari modul 1.4 ini, saya berpikir bahwa untuk menciptakan budaya positif di kelas maupun di sekolah harus melibatkan murid dalam perencanaan hingga pelaksanaannya. Hal tersebut dilakukan dengan harapan untuk mewujudkan kelas atau sekolah yang nyaman, aman, positif berdasarkan keyakinan kelas atau sekolah yang diyakini bersama.

    Perubahan lainnya bahwa posisi kontrol yang Saya terapkan selama ini adalah posisi kontrol sebagai penghukum dan pembuat merasa bersalah. Hal tersebut ternyata kurang tepat untuk mewujudkan disiplin positif murid. Oleh karena itu, Saya harus mengubahnya menjadi posisi kontrol manajer dan menerapkan segitiga restitusi.

Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda?

    Pengalaman yang pernah Saya alami dalam menerapkan konsep modul budaya positif, ketika Saya ingin menyelesaikan masalah pelanggaran disiplin murid dengan menggunakan posisi kontrol manajer dan menggunakan segitiga restitusi. Terkadang, sikap Saya tersebut berbenturan dengan kebiasaan di sekolah selama ini yang terbiasa menghukum murid untuk membentuk sikap disiplin. Oleh karena itu, Saya harus menggunakan pendekatan khusus untuk mensosialisasikan hal ini kepada rekan sejawat di sekolah.

Bagaimana perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?

  Perasaan Saya ketika mengalami hal tersebut adalah merasa lebih tertantang untuk mengimplementasikan posisi guru sebagai manajer dan menerapkan segitiga restitusi dalam menangani kasus pelanggaran disiplin murid. Karena dengan menempatkan diri sebagai manajer, guru akan memberikan kesempatan kepada murid untuk mempertanggungjawabkan perilaku dan mendukung murid menemukan solusi atas permasalahannya. Saya juga merasa tertantang untuk menyusun strategi untuk mensosialisasikan konsep budaya positif kepada rekan sejawat, agar kami dapat berkolaborasi melakukan perubahan budaya positif di kelas maupun sekolah.

Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik?Adakah yang perlu diperbaiki?

    Menurut Saya, hal baik yang sudah ada di lingkungan kelas dan sekolah adalah Disiplin Positif, Nilai-nilai Kebajikan, serta Keyakinan Kelas yang dibangun bersama dengan Berpihak pada Murid. Adapun yang perlu diperbaiki adalah Posisi Kontrol seorang guru yang selama ini cenderung sebagai Penghukum dan Pembuat Merasa Bersalah, menuju posisi seorang Manajer.

Sebelum mempelajari modul ini, ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?

    Sebelum mempelajari modul ini, posisi kontrol yang sering Saya gunakan ketika berinteraksi dengan murid adalah penghukum dan pembuat merasa bersalah. Perasaannya pada saat itu, Saya merasa benar karena telah berhasil mendisiplinkan murid, walupun dengan terpaksa dan memang hasilnya tidak bisa konsisten. Setelah mempelajari modul ini, Saya mencoba menggunakan posisi kontrol sebagai manajer. Saat Saya mampu melaksanakan posisi kontrol manajer dengan penerapan segitiga restitusi, Saya merasa bangga dengan murid Saya karena mereka lebih menunjukkan rasa tanggung jawabnya saat memperbaiki kesalahan.

Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?

Sebelumnya, saya pernah secara tidak sadar menggunakan konsep segitiga restitusi, akan tetapi tahapan restitusinya tidak dilaksanakan secara menyeluruh. Tahapan yang pernah Saya laksanakan adalah menstabilkan identitas dan validasi tindakan yang salah. Untuk menanyakan keyakinan belum Saya laksanakan, karena sebelumnya Saya cenderung meminta murid memperbaiki kesalahannya dengan melakukan konsekuensi atau hukuman sesuai yaang disepakati atau kehendak Saya. Jadi bukan pendapat atau restitusi dari murid sendiri.

Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?

    Hal yang menurut Saya penting untuk menciptakan budaya positif adalah kolaborasi yang baik seluruh anggota komunitas sekolah maupun dengan pihak-pihak terkait serta sarana dan prasarana yang mendukung. Kolaborasi anggota komunitas sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai kebajikan sangat dibutuhkan agar dapat membangun budaya positif sekolah. Sarana prasarana sekolah sangat menunjang untuk mewujudkan sekolah yang nyaman, aman, dan mendukung proses pembelajaran yang menyenangkan dan tentu saja berpihak pada murid.


Demikian tadi keterkaitan antar materi modul 1.1 sampai dengan 1.4 beserta refleksi pemahaman materi modul 1.4 Budaya Positif secara menyeluruh.

Guru hebat Indonesia Tergerak, Bergerak, Menggerakkan.

Guru Bergerak, Indonesia Maju.

Wassalamualaikum warohmatullohiwabarokatuh.